Jakarta, cssmayo.com – Pernahkah kamu melihat video seorang tokoh publik yang tampak berbicara tentang sesuatu yang kontroversial—padahal tidak ada liputan media mana pun tentang itu? Atau mendengar lagu baru dari penyanyi yang sudah meninggal bertahun-tahun lalu? Jika ya, bisa jadi kamu telah terpapar synthetic media, entah sadar atau tidak.
Synthetic media adalah hasil kreasi konten digital yang dibuat atau dimodifikasi secara artifisial dengan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), machine learning, deepfake, atau text-to-speech. Ini mencakup video, gambar, suara, dan bahkan teks yang terlihat dan terdengar seolah-olah dibuat oleh manusia, padahal tidak.
Fenomena ini tidak lagi sekadar eksperimen teknologi di lab Silicon Valley. Synthetic media telah hadir dalam keseharian kita—dari filter wajah di media sosial, narasi AI dalam video edukasi, iklan dengan avatar buatan, hingga simulasi suara dalam audiobook.
Sebagai pembawa berita, saya tidak bisa tidak terpukau dan sekaligus merasa was-was. Karena synthetic media membawa potensi luar biasa dalam dunia kreatif dan komunikasi, namun juga membawa risiko besar dalam ranah kepercayaan, etika, dan keamanan informasi.
Mari kita telusuri lebih dalam: apa itu synthetic media, siapa yang menggunakannya, dan apa dampaknya bagi masa depan konten dan kepercayaan publik?
Memahami Apa Itu Synthetic Media—Dari Definisi ke Aplikasi
Secara sederhana, synthetic media adalah konten digital yang dibuat atau dimanipulasi menggunakan algoritma AI, bukan oleh tangan manusia secara langsung. Kategori ini mencakup banyak teknologi, antara lain:
1. Deepfake Video
Menggunakan model deep learning untuk menukar wajah seseorang dalam video. Ini bisa digunakan untuk hiburan (parodi), edukasi, bahkan manipulasi politik. Misalnya, kamu bisa membuat Barack Obama “berbicara” tentang topik yang tak pernah ia ucapkan.
2. Voice Cloning
AI dapat meniru suara seseorang secara sangat akurat. Dengan sampel suara sekitar 3-5 menit, sistem text-to-speech bisa menghasilkan suara yang terdengar seperti asli.
Ini digunakan dalam audiobook, customer service otomatis, hingga iklan.
3. Virtual Influencer dan Avatar 3D
Tokoh seperti Lil Miquela—seorang influencer Instagram yang sebenarnya hanyalah karakter CGI—adalah contoh synthetic media yang digunakan untuk branding dan promosi.
4. Text Generation
Platform seperti ChatGPT (ya, termasuk saya) adalah bentuk synthetic media berbasis teks. Kami menghasilkan tulisan, balasan, atau naskah berdasarkan input pengguna dan pelatihan data sebelumnya.
5. AI-Generated Art dan Musik
Dengan tools seperti Midjourney, DALL·E, dan Suno AI, siapa pun kini bisa membuat lukisan atau lagu dalam hitungan detik. Konten yang dulu butuh skill dan waktu bertahun-tahun, kini bisa dicapai dengan beberapa klik.
Potensi Positif Synthetic Media dalam Dunia Nyata
Meski kerap dikaitkan dengan penipuan atau disinformasi, synthetic media juga membuka peluang luar biasa di berbagai sektor:
1. Edukasi dan Pelatihan
Bayangkan siswa belajar sejarah lewat narasi dari tokoh yang mereka lihat di layar—disuarakan dengan intonasi dan ekspresi yang hidup. Atau pelatihan perusahaan dengan avatar instruktur yang bisa disesuaikan bahasanya dan mimik wajahnya.
2. Aksesibilitas
Orang dengan gangguan penglihatan atau pendengaran bisa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih baik melalui narasi AI atau animasi visual yang menjelaskan topik sulit. Teknologi voice cloning juga bisa membantu mereka yang kehilangan suara untuk tetap berkomunikasi.
3. Industri Hiburan dan Kreatif
Film, iklan, musik, bahkan konten media sosial kini bisa diproduksi jauh lebih efisien dengan teknologi AI. Produser bisa “menghidupkan kembali” aktor yang sudah meninggal, atau membuat trailer film dalam berbagai bahasa tanpa perlu dubbing manual.
4. Pemasaran dan Komunikasi Bisnis
Synthetic media mempermudah perusahaan menciptakan konten multibahasa, menyapa pelanggan dalam dialek lokal, dan menyajikan pengalaman personal yang sebelumnya mahal atau tidak memungkinkan.
Misalnya, brand fashion bisa membuat avatar AI untuk mencocokkan koleksi baru dengan berbagai tipe tubuh dan warna kulit.
Risiko dan Tantangan Etika di Balik Synthetic Media
Tapi tentu saja, dengan kekuatan besar datang tanggung jawab besar. Synthetic media juga menghadirkan masalah serius jika digunakan sembarangan atau dengan niat jahat.
1. Disinformasi dan Propaganda
Deepfake bisa digunakan untuk menyebarkan hoaks politik, menyulut konflik, atau mencemarkan nama tokoh publik. Beberapa negara bahkan sudah mencatat kasus hukum terkait manipulasi video untuk kepentingan politik.
Bayangkan jika rekaman “palsu” seorang kepala negara menyatakan perang—dampaknya bisa sangat besar sebelum klarifikasi muncul.
2. Kejahatan Siber dan Penipuan
Voice cloning bisa dimanfaatkan untuk mengelabui orang tua agar mengirim uang, seolah anak mereka dalam bahaya. Penjahat bisa membuat panggilan palsu dengan suara seperti atasan di perusahaan untuk mencuri data sensitif.
3. Pelanggaran Hak Cipta dan Privasi
Jika suara atau wajah seseorang digunakan tanpa izin, bisa terjadi pelanggaran serius terhadap hak privasi dan kekayaan intelektual. Saat ini, belum semua negara punya undang-undang yang jelas untuk hal ini.
4. Penghapusan Nilai Karya Asli
Banyak seniman, penulis, dan musisi mulai merasa tersingkir karena karya mereka bisa “diduplikasi” oleh AI tanpa imbalan atau penghargaan. Apakah kita siap dunia di mana seni bukan lagi hasil hati, tapi hasil prompt?
Masa Depan Synthetic Media—Regulasi, Inovasi, dan Kesadaran Kolektif
Synthetic media bukan tren sesaat. Ia akan terus tumbuh dan meresap ke dalam setiap aspek kehidupan digital kita. Maka yang harus kita siapkan bukan sekadar teknologi lebih baik, tapi ekosistem kesadaran dan aturan main yang jelas.
1. Regulasi dan Labeling
Beberapa negara mulai menggodok kebijakan untuk mewajibkan penanda (label) dalam konten yang dihasilkan AI. Misalnya, video deepfake harus mencantumkan bahwa itu bukan video asli.
Indonesia juga sedang mendorong revisi UU ITE untuk merespons fenomena ini.
2. Literasi Digital Publik
Masyarakat harus belajar mengenali konten synthetic—baik melalui watermark, metadata, maupun sinyal perilaku. Media juga berperan dalam mendidik pembaca agar tidak mudah terprovokasi atau tertipu.
3. Etika AI dalam Dunia Kreatif
Komunitas teknologi, seni, dan hukum harus duduk bersama untuk menentukan batas etis penggunaan synthetic media. Misalnya: apakah boleh menggunakan suara aktor yang sudah meninggal untuk film baru? Siapa yang berhak menerima royalti?
4. Peran Mahasiswa dan Generasi Muda
Bagi mahasiswa dan profesional muda, synthetic media bukan sekadar isu teknologi—tapi tantangan moral, sosial, dan karier. Mereka bisa jadi pionir dalam membangun teknologi yang bertanggung jawab dan kreatif.
Mulai dari membangun sistem pendeteksi deepfake, membuat konten edukasi berbasis AI yang etis, hingga menciptakan seni kolaboratif antara manusia dan mesin.
Penutup: Dunia Baru yang Butuh Wawasan Baru
Synthetic media bukan musuh. Ia adalah alat—seperti pisau dapur yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai. Yang menentukan arah gunanya adalah niat dan penguasaan kita atas teknologi itu sendiri.
Sebagai pembawa berita dan pengamat teknologi, saya percaya bahwa masa depan synthetic media bergantung pada kesadaran kolektif kita sebagai pengguna, pembuat, dan pengatur. Kita tidak bisa menghentikan kemajuan, tapi kita bisa memilih jalur yang membangun dan memanusiakan teknologi.
Dan pada akhirnya, meski konten semakin terlihat dan terdengar sempurna, jangan lupakan bahwa yang paling autentik tetap datang dari kesadaran dan hati manusia—bukan dari script tanpa jiwa.
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Techno
Baca Juga Artikel Dari: 3D stylus: Alat Kreatif Modern untuk Desain 3D