Jakarta, cssmayo.com – Di sebuah konferensi teknologi di Shenzhen, seorang jurnalis dari Eropa dibuat melongo. Ia menyaksikan bagaimana sebuah Robot Humanoid China buatan lokal, lengkap dengan ekspresi wajah dan kemampuan berbahasa multibahasa, menyambut tamu dengan sikap sopan dan nyaris tanpa jeda respons. “Ini… mirip Sophia,” katanya pelan. Tapi ini bukan Sophia dari Hanson Robotics. Ini adalah “Qinglong-X”, humanoid cerdas besutan perusahaan AI asal Guangzhou.
Selama ini, banyak orang memandang China sebagai raksasa manufaktur yang hanya jago meniru. Namun beberapa tahun terakhir, terutama sejak 2023, negeri itu justru memimpin dalam pengembangan robotik humanoid. Fakta mengejutkan datang dari World Robot Conference 2024: dari total peserta pameran, 40% berasal dari China, dan banyak dari mereka memamerkan robot yang bisa berbicara, menari, sampai membacakan puisi klasik Tiongkok.
Mengapa ini penting? Karena robot humanoid bukan sekadar alat, melainkan simbol supremasi teknologi masa depan. Saat Amerika dan Jepang mengembangkan AI lewat pendekatan software-first, China memilih jalan hardware-software integration — hasilnya? Robot-robot yang tidak hanya cerdas, tapi juga berwujud dan bisa disentuh.
Di Balik Produksi Massal, Ada Mimpi Kolektif
China bukan negara yang hanya mengejar estetika dalam robotika. Mereka punya visi jangka panjang: menciptakan “komunitas berbasis kecerdasan” di mana robot menjadi bagian dari kehidupan sosial. Dalam laporan resmi Kementerian Sains dan Teknologi Tiongkok, disebutkan bahwa pada 2035, mereka menargetkan rasio 1 robot humanoid per 50 orang warga kota.
Salah satu langkah konkret yang sudah dilakukan adalah pembangunan pusat riset humanoid terbesar di Asia, yang berada di kota Tianjin. Di sana, ratusan insinyur, desainer, dan pakar linguistik bekerja bersama untuk menciptakan robot yang mampu memahami ekspresi manusia — bukan cuma lewat kata, tapi juga dari nada suara dan gerakan tubuh. Proyek ini dipimpin oleh Dr. Mei Xiaohong, yang pernah bekerja di MIT selama 6 tahun sebelum kembali ke tanah air.
Dalam sebuah wawancara dengan media teknologi di Shanghai, Dr. Mei menyebut: “Robot humanoid bukan hanya tentang meniru manusia. Ini soal memahami manusia dan memberi mereka refleksi — bukan hanya fungsi.” Kata-katanya menggambarkan ambisi besar negeri itu.
Dan bicara produksi massal, China punya keunggulan mutlak. Dengan ekosistem komponen murah dan tenaga kerja terlatih, biaya produksi satu unit robot humanoid bisa ditekan hingga 30% lebih rendah dibandingkan kompetitor Barat. Tak heran, mulai banyak negara berkembang yang memesan prototipe dari pabrikan di Hangzhou dan Chengdu.
Robot-Robot Buatan China yang Mengubah Industri
Siapa saja pemain kunci di balik lonjakan robot humanoid China? Beberapa nama mencuat dan layak mendapat sorotan:
-
Fourier Intelligence: Perusahaan ini dikenal lewat produk bernama GR-1, robot humanoid dengan tinggi 165 cm, mampu berjalan, membawa beban ringan, dan melakukan gesture kompleks. Awalnya dikembangkan untuk rehabilitasi medis, tapi kini merambah industri logistik dan perhotelan.
-
Unitree Robotics: Meski lebih dikenal karena robot anjing “Go1”, mereka kini masuk ke humanoid dengan proyek H1, robot yang diklaim sebagai “humanoid paling gesit di dunia”. H1 bisa berlari dengan kecepatan hampir 5 km/jam dan melakukan push-up — ya, push-up.
-
Xiaomi: Betul, produsen smartphone ini ternyata ikut-ikutan juga. Mereka memperkenalkan CyberOne, humanoid dengan tampilan sleek dan AI pembelajaran emosi. Walaupun masih dalam tahap awal, langkah Xiaomi menunjukkan bahwa ekosistem teknologi di China siap menggabungkan AI, perangkat keras, dan antarmuka pengguna dalam satu kesatuan yang harmonis.
Industri ritel, keamanan, hingga pendidikan sudah mulai menguji coba humanoid buatan dalam negeri ini. Beberapa sekolah di Nanjing, misalnya, telah memakai robot humanoid sebagai asisten guru Bahasa Inggris, lengkap dengan fitur koreksi fonetik.
Tantangan Etika dan Sosial yang Tak Bisa Dielakkan
Namun tak semua orang menyambut era humanoid ini dengan antusiasme. Banyak warga — terutama dari generasi tua — merasa canggung melihat robot yang meniru gerak tubuh manusia. “Saya lebih nyaman dengan mesin yang kelihatan seperti mesin,” ujar seorang pensiunan di Beijing saat diwawancarai oleh media lokal. Ada rasa takut bahwa robot-robot ini akan mengambil pekerjaan manusia, atau bahkan menggantikan kehangatan interaksi sosial.
Lalu ada pula isu privasi dan keamanan. Robot humanoid yang dilengkapi kamera, mikrofon, dan AI pembelajaran bisa menyimpan data dalam jumlah besar. Jika jatuh ke tangan yang salah atau digunakan tanpa regulasi ketat, bukan tak mungkin akan muncul risiko serius — mulai dari pengintaian sampai manipulasi emosi lewat algoritma.
Untuk mengatasi ini, pemerintah China mulai menyusun kebijakan pengawasan dan sertifikasi bagi robot humanoid. Mereka membentuk dewan etik teknologi yang terdiri dari akademisi, tokoh masyarakat, dan developer. Salah satu draft kebijakan menyebut bahwa semua robot humanoid yang berinteraksi langsung dengan masyarakat wajib memakai “mode etik” — semacam batasan perilaku digital.
Lucunya, anak muda di media sosial justru punya kekhawatiran berbeda: “Gimana kalau nanti robotnya terlalu cakep?” tulis seorang netizen di Weibo sambil mengunggah video humanoid wanita dengan ekspresi terlalu ‘real’. Ternyata, tantangan etika juga datang dari selera dan ekspektasi publik.
Apakah Robot Humanoid Akan Jadi Standar Masa Depan?
Melihat ke depan, kita bisa bertanya: mungkinkah dunia akan dipenuhi robot berbentuk manusia? Di China, skenario ini bukan lagi fiksi. Mereka bahkan sudah merancang kota pintar yang infrastrukturnya ramah terhadap keberadaan robot humanoid. Dari trotoar, lift, hingga sistem transportasi publik — semua disesuaikan agar bisa diakses dan digunakan oleh AI berbentuk manusia.
Beberapa analis memperkirakan bahwa pada 2040, ekspor robot humanoid akan menjadi salah satu komoditas utama Tiongkok, sejajar dengan semikonduktor dan kendaraan listrik. Negara-negara di Asia Tengah dan Afrika pun mulai melakukan penjajakan kerja sama, terutama untuk bidang pendidikan dan layanan kesehatan.
Bahkan, rumor beredar bahwa China tengah menjalin kerjasama rahasia dengan salah satu studio film animasi terbesar dunia, untuk membuat robot aktor. Jika benar, ini akan jadi terobosan besar di industri hiburan.
Meski begitu, masih banyak pekerjaan rumah. Baterai yang cepat habis, respons AI yang terkadang terlalu literal, serta keterbatasan mimik wajah adalah hambatan nyata. Tapi kalau melihat track record China dalam mengejar ketertinggalan — bahkan melampaui — rasanya hanya tinggal waktu sebelum humanoid buatan mereka menjadi tolok ukur global.
Penutup: Robot-Robot dengan Wajah Tiongkok
Di satu sisi, humanoid buatan China adalah manifestasi dari lompatan teknologi. Di sisi lain, ia menjadi cermin ambisi nasional — bahwa negeri itu tak lagi puas sekadar menjadi pabrik dunia, tapi ingin menjadi pemimpin peradaban digital.
Seperti yang dikatakan oleh Chen Long, direktur teknis dari salah satu proyek humanoid di Shenzhen:
“Kita menciptakan robot bukan karena manusia tidak cukup, tapi karena dunia butuh versi baru dari kolaborasi antara nalar dan logika.”
Dan kolaborasi itu, tampaknya, sudah dimulai — dengan wajah yang sangat mirip dengan kita.
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Techno
Baca Juga Artikel dari: Robot Pembersih: Solusi Modern untuk Kehidupan Lebih Nyaman